KurikulumPendidikan

Model Pengembangan Kurikulum

Model Pengembangan Kurikulum merupakan seria artikel tentang konsep kurikulum. artikel ini setelah konsep kurikulum tentang landasan pengembangan kurikulum. Hal ini menjadii acuan yang dilakukan oleh para pengembangan kurikulum karena akan menjadi arah dan tujuan serta karakteristik kurikulum.

Menurut Nana S. Sukmadinan bahwa Model Kurikulum dapat dibedakan berdasarkan 4 aliran Pendidikan (Sukmadinata, 2009) yaitu pertama aliran pendidikan klasik melahirkan kurikulum subjek akademis, kedua aliran pendidikan pribadi melahirkah model kurikulum humanistik, ketiga aliran teknologi pendidikan melahirkan kurikulum teknologis dan keempat aliran pendidikan interak­sionis, melahirkan kurikulum rekonstruksi sosial. Setiap model kurikulum memiliki perbedaan dalam hal apa yang harus diajarkan, oleh siapa diajarkan, kapan, dan bagaimana mengajarkannya (Hamalik, 2009).

1. Model Kurikulum Subjek Akademik

Model Pengembangan Kurikulum pertama adalah Kurikulum Subjek Akademik. Ahli akademik mengembangkan terus kurikulum menyiapkan peserta didik untuk masuk ke dunia pengetahuan, dengan konsep dasar dan metode untuk mengamati, hubungan antar­sesama, analisis data, dan penarikan kesimpulan. Mereka berharap peserta didik bertindak seperti seorang ahli fisika, biologi, atau sejarawan. Maka sebagai anggota masyarakat mereka perlu mengikuti perkembangan disiplin ilmu, dengan memahami dan mendukungnya, dan jika perlu melanjutkan studinya, agar menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu.

Kelemahan pendekatan model kurikulum Subjek Akademik adalah kegagalan dalam untuk memberikan perhatian pada yang lainnya, dan melihat bagaimana isi dan disiplin dapat membawa mereka pada permasalahan kehidupan modern yang kompleks, yang tidak dapat dijawab oleh hanya satu ilmu saja (Hamalik, 2009)

Di sisi Lain, Konsep kurikulum akademik dipandang sebagai tempat mengendalikan mata pelajaran yang akan dipelajari oleh peserta didik. Para Ahli Akademik menganggap bahwa kurikulum merupakan jalan terbaik untuk mengembangkan pemikiran, dan penguasaan pengetahuan secara umum ditemukan dalam kurikulum yang memberikan kontribusi berpikir rasional.

2. Model Kurikulum Humanistik

Model Pengembangan Kurikulum kedua adalah Kurikulum Humanistik. Berdasarkan kurikulum humanistik, fungsi kurikulum adalah menyiapkan peserta didik dengan berbagai pengalaman na­luriah yang sangat berperan dalam perkembangan individu. Bagi para pendukung kurikulum humanistik, tujuan pendidikan adalah suatu proses atas diri individu yang dinamis, yang berkaitan dengan pemikiran, integritas, dan otonominya.

Dalam kurikulum humanistik, guru diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik dengan peserta didiknya, untuk perkembangan individu peserta didik itu selanjutnya. Peran guru yang diharapkan adalah Mendengar pandangan realitas peserta didik secara kom­prehensif; Menghormati individu peserta didik; dan Tampil alamiah, otentik, tidak dibuat-buat.

Dalam pendekatan model kurikulum humanistik, peserta didik diajar untuk membedakan hasil berdasarkan maknanya. Guru seharusnya dapat menyediakan kegiatan yang memberikan alternatif pengalaman belajar bagi peserta didik.

Evaluasi kurikulum humanistik tidak ditekankan pada hasil akhir atau produk. Tapi evalusi kurikulum humanistik lebih memberi penekanan pada proses yang dilakukan. Kurikulum Model Humanistik melihat kegiatan sebagai sebuah manfaat untuk peserta di masa depan. Kelas yang baik akan menyediakan berbagai pengalaman untuk membantu peserta didik menyadari potensi mereka dan orang lain, serta dapat mengembangkannya.

Pada Model kurikulum humanistik, guru diharapkan mengetahui respon peserta didik terhadap kegiatan mengajar. Guru juga diha­rapkan mengamati apa yang sudah dilakukannya, sebagai umpan balik setelah kegiatan belajar dilakukan.

Kurikulum humanistik memiliki beberapa acuan yaitu Integrasi semua domain afeksi peserta didik, yaitu emosi, sikap, dan nilai-nilai dengan domain kognisi, yaitu kemampuan dan pengetahuan. Adanya kesadaran dan kepentingan, dan adanya Respon terhadap ukuran tertentu, seperti kedalaman suatu keterampilan. Oleh karena itu, kurikulum humanistik perlu mempertimbangkan motivasi untuk pencapaian hasil dan minat peserta didik.

Model kurikulum humanistik memiliki beberapa kelemahan, antara lain keterlibatan emosional tidak selamanya berdampak positif bagi perkembangan individual peserta didik; meskipun kurikulum ini sangat menekankan individu peserta didik, pada kenyataannya di setiap program ter­dapat keseragaman peserta didik; kurikulum ini kurang memerhatikan kebutuhan mas­yarakat secara keseluruhan; dan dalam kurikulum ini, prinsip-prinsip psikologis yang ada kurang terhubungkan. (Hamalik, 2009)

Secara Konsep kurikulum humanistik lebih mengarah pada kurikulum yang dapat memuaskan setiap individu, agar mereka dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan potensi dan unikan masing-masing.

3. Model Kurikulum Teknologi

Model Pengembangan Kurikulum Ketiga adalah Model Kurikulum Teknologi. Di kalangan pendidikan, teknologi sudah dikenal dalam bentuk pembelajaran berbasis komputer, sistem pembelajaran individu, serta kaset atau video pembelajaran. Banyak pihak yang kurang menyadari bahwa teknologi sangat membantu meng­analisis masalah kurikulum, dalam hal pembuatan, implementasi, evaluasi, dan pengelolaan instruksional.

Perspektif teknologi sebagai kurikulum ditekankan pada efektivitas program metode dan material untuk mencapai suatu manfaat dan keberhasilan. Teknologi mempengaruhi kurikulum dalam dua cara, yaitu aplikasi dan teori. Aplikasi teknologi merupakan suatu rencana penggunaan beragam alat dan media, atau tahapan basis instruksi. Sebagai teori, teknologi digunakan dalam pengembangan dan evaluasi material kuri­kulum dan instruksional. Pandangan pertama menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi lebih diarahkan pada bagaimana mengajarkannya, bukan apa yang diajarkan. Adapun pandangan kedua menyatakan bahwa teknologi diarahkan pada penerapan tahapan instruksional.

Pada tahun 1960, B.F. Skinner menganjurkan efisiensi dalam belajar, yaitu cara mengajar yang memberikan lebih banyak subjek kepada peserta didik yang lebih banyak. Bentuk efisiensi ini adalah tahapan belajar melalui terminal perilaku tertentu. Berdasarkan hal ini, teknologi mengembangkan aturan-aturan untuk membangun kurikulum dalam bentuk latihan terprogram, antara lain: memberi perhatian kepada peserta didik; Menginformasikan kepada peserta didik tentang ekpektasi hasil; Mengaktifkan kemampuan yang relevan; Memberikan stimulus pada tugas; Memberi tanggapan koreksi saat terjadi kesalahan; Menyediakan umpan masukan; Mengukur kinerja; dan Meyakini ingatan.

Inti dari kurikulum teknologi adalah keyakinan bahwa materi kurikulum yang digunakan oleh peserta didik seha­rusnya dapat menghasilkan kompetensi khusus bagi mereka. Meskipun demikian, masih ada tiga permasalahan yang belum terpecahkan dalam kurikulum teknologi ini, yaitu:Kesalahan hierarki dalam prasyarat dan standar pemisahan dari penguasaan belajar; Ketidaktepatan penerapan dalam situasi yang tidak pasti; dan Keterbatasan konsep individualisasi. (Hamalik, 2009)

Teknologi berperan dalam meningkatkan kualitas kuri­kulum, dengan memberi kontribusi mengenai keefektifan instruksional, tahapan instruksional, dan memantau perkembangan peserta didik. Oleh karenanya sangat beralasan bahwa dewasa ini semakin banyak kurikulum efektif yang selaras dengan perkembangan teknologi.

Meskipun biaya yang dikeluarkan dalam pengembangan kurikulum teknologi ini cukup besar, tapi ini sebanding dengan nilai yang didapat, dan pembelajaran bagi para siswa saat model ini diterapkan.

Salah satu kelemahan kurikulum teknologi ini adalah kurangnya perhatian pada penerapan dan dinamika inovasi. Model teknologi ini hanya menekankan pengembangan efek­tivitas produk saja, sedangkan perhatian untuk mengubah lingkungan yang lebih luas, seperti organisasi sekolah, sikap guru, dan cara pandang masyarakat, sangat kurang. (Hamalik, 2009)

Konsep kurikulum teknologi memberi pandangan bahwa kurikulum harus dibuat sebagai suatu proses teknologi untuk dapat memenuhi keinginan pembuat kebijakan.

4. Model Kurikulum Rekonstruksi Sosial

Model Pengembangan Kurikulum Keempat adalah Model Kurikulum Rekonstruksi Sosial. Kurikulum rekonstruksi sosial sangat memerhatikan hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik perkembangan ekonomi. Banyak prinsip kelompok ini yang konsisten dengan cita-cita tertinggi, contohnya masalah hak asasi kaum mino­ritas, keyakinan dalam intelektual masyarakat umumnya, dan kemampuan menentukan nasib sendiri sesuai arahan yang mereka inginkan.

Pendukung kurikulum rekonstruksi sosial ini memberi komitmen yang tinggi pada ide sosial yang dibatasi oleh konsensus sosial. Percepatan kurikulum rekonstruksi sosial dapat terjadi ketika para orang tua dan masyarakat terlibat dalam mengajar dan berperan dalam pelayanan sosial. Seba­liknya, kurikulum ini akan sulit diimplementasikan pada negara yang berkonstelasi politik status quo.

Tujuan Model Kurikulum Rekonstruksi Sosial

Kurikulum rekonstruksi sosial bertujuan untuk meng­hadapkan peserta didik pada berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan. Para pendukung kurikulum ini yakin, bahwa permasalahan yang muncul tidak harus diperhatikan oleh “pengetahuan sosial” saja, tetapi oleh setiap disiplin ilmu, termasuk ekonomi, kimia, matematika, dan lain-lain.

Kegiatan yang dilakukan dalam kurikulum rekonstruksi sosial antara lain melibatkan survei kritis terhadap suatu masyarakat; studi yang melihat hubungan antara ekonomi lokal dengan ekonomi nasional atau internasional; studi pengaruh sejarah dan kecenderungan situasi ekonomi lokal; uji coba kaitan praktik politik dengan perekonomian; berbagai pertimbangan perubahan politik; dan pembatasan kebutuhan masyarakat pada umumnya. (Hamalik, 2009)

Dalam kurikulum rekonstrusi sosial, guru berperan meng­hubungkan tujuan peserta didik dengan manfaat lokal, na­sional, dan internasional. Para peserta didik diharapkan dapat menggunakan minatnya dalam menemukan jawaban atas permasalahan sosial yang dibahas di kelas.

Pembelajaran yang dilakukan dalam kurikulum rekon­struksi sosial harus memenuhi tiga kriteria berikut, yaitu nyata, membutuhkan tindakan, dan harus mengajarkan nilai (Hamalik, 2009) Adapun kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan per­tanyaan berikut: Dapatkah manusia tercukupi dengan kemampuan yang dimilikinya dalam menghadapi tantangan keterbatasan?; Dapatkah antartetangga belajar bekerja sama dalam meme­cahkan masalah mereka masing-masing?; Dapatkah stabilitas ekonomi dan politik dibangun kembali agar masyarakat tempat mereka berada mempunyai ke­mudahan dalam mengakses sumber-sumber budaya dan lingkungan? (Hamalik, 2009)

Evaluasi dalam kurikulum rekonstruksi sosial mencakup spektrum yang luas, yaitu kemampuan peserta didik dalam menyampaikan permasalahan, kemungkinan pemecahan ma­salah, pendefinisian kembali pandangan mereka tentang dunia, dan kemauan mengambil tindakan atas suatu ide. Di samping itu, peserta didik diharapkan dapat menilai pem­belajaran mandiri yang sudah dilakukan untuk melihat apa yang sudah mereka pelajari.

Adapun konsep kurikulum rekonstruksi sosial tidak sekedar menekankan pada minat individu, tapi juga pada kebutuhan sosialnya. Tanggung jawab kurikulum ini adalah untuk memberikan dampak sosial, dalam pembentukan dan penciptaan masyarakat masa datang yang lebih baik. Konsep kurikulum rekonstruksi sosial juga memberi tekanan pada proses perkembangan nilai-nilai sosial.


Eksplorasi konten lain dari Yunandra

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *